Belakangan ini, media sosial ramai dengan tagar #KaburAjaDulu, yang muncul sebagai bentuk kritik terhadap kondisi di Indonesia. Banyak yang mengartikannya sebagai ekspresi kekecewaan dan ajakan untuk meninggalkan negeri ini karena berbagai permasalahan yang ada. Namun, jika kita melihat lebih dalam, ada sisi positif yang bisa kita ambil dari fenomena ini. Justru, di balik sindiran ini, tersimpan rasa nasionalisme yang kuat dari para penggunanya.
Kritik sebagai Bentuk Kepedulian
Tagar #KaburAjaDulu bukan hanya sekadar ajakan untuk lari dari masalah, tetapi merupakan suara yang menggambarkan keresahan masyarakat. Mereka yang menggunakan tagar ini sebenarnya memiliki harapan besar terhadap perubahan di negeri ini. Kritik, bahkan dalam bentuk sindiran, menunjukkan bahwa masyarakat masih peduli dan ingin melihat Indonesia menjadi lebih baik.
Dalam sejarahnya, kritik sering kali menjadi pemicu perubahan. Reformasi 1998, misalnya, terjadi karena adanya tekanan dari rakyat yang menginginkan pemerintahan yang lebih adil. Kritik adalah bentuk partisipasi aktif dalam demokrasi, bukan tanda menyerah. Justru, negara yang maju adalah negara yang masyarakatnya kritis dan berani menyuarakan pendapatnya.
Nasionalisme dalam Kritik
Nasionalisme tidak selalu ditunjukkan dengan pujian semata. Terkadang, cinta tanah air justru tercermin dalam keberanian untuk menyuarakan ketidakpuasan. Jika seseorang benar-benar tidak peduli terhadap negaranya, mereka tidak akan repot-repot mengkritik atau membuat tagar seperti #KaburAjaDulu. Sebaliknya, mereka yang menggunakan tagar ini sebenarnya menginginkan perubahan positif bagi bangsa.
Fenomena ini mirip dengan seorang anak yang kecewa terhadap orang tuanya. Bukan berarti ia membenci keluarganya, tetapi justru karena ia mengharapkan kasih sayang dan perhatian yang lebih baik. Begitu pula dengan kritik terhadap pemerintah—ini adalah bentuk harapan, bukan kebencian.